Oleh : Alimardin S.Pd
A.
Pengertian Bimbingan dan Konseling
Dalam literatur profesional
di Indonesia, Bimbingan dan Konseling merupakan terjemahan dari kata Guidance dan Counseling. Arti dari kedua
istilah itu baru dapat itangkap dengan tepat bila ditinjau dari sumber aslinya
dalam bahasa Inggris khususnya yang digunakan di Amerika Serikat. Dibawah ini
diurakan rumusan singkat para ahli tentang penjelasan kedua kata tersebut serta
perbedaannya.
1.
Bimbingan (guidance) banyak rumusan dari para ahli
tentang makna kata bimbingan, namun disini penulis menguraikan 5 diantaranya:
a. Rumusan 1 (Parson, dalam jones,
1951)
1) Bimbingan diberikan kepada
individu
2) Bimbingan mempersiapkan
individu untuk memasuki suatu jabatan
3) Bimbingan mempersiapkan
individu agar mencapai kemajuan dalam jabatan.
b. Rumusan 2 (Dunsmoor &
Miller, dalam Mc Daniel, 1959)
1) Bimbingan adalah berusaha
membantu individu
2) Bimbingan berusaha memahami
dan menggunakan secara luas kesempatan-kesempatan yang tersedia yang meliputi
kesempatan pendidkan, jabatan.
3) Bimbingan dilakukan secara
sistematik
4) Bimbingan bertujuan agar
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dan kehidupan.
c. Rumusan 3 (Crow & Crow,
1960)
1) Bimbingan merupakan bantuan
yang diberikan seseorang laki-laki atau perempuan.
2) Bimbingan berguna agar klien
memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik.
3) Bantuan melalui bimbingan
diberikan kepada individu
4) Bimbingan untuk klien
sembarang usia.
5) Bimbingan bertujuan agar
klien memperoleh kemandirian dalam membuat rencana dan membuat
keputusan-keputusan.
6) Bimbingan bertujuan agar
klien bertanggung jawab terhadap keputusan-keputusan yang dibuat
d. Rumusan 4 (Tiederman dalam
Benard & Fullmer,1969)
Bimbingan adalam membantu
seseorang agar menjadi berguna.
e. Rumusan 5 (Jones, dkk, 1970)
1) Bimbingan merupakan proses
bantuan.
2) Bimbingan diberikan kepada
individu.
3) Bimbingan bertujuan agar
klien dapat membuat pilihan-pilihan dan keputusan secara bijaksana.
4) Bimbingan dilaksanakan
berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi bahwa setiap individu mempunyai hak
dan kewajiban memilih jalan hidupnya sendiri.
5) Dalam memilih jalan hidupnya
itu, Individu tidak boleh mencampuri hak orang lain.
6) Kemampuan membuat
pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan tidak diturunkan/diwarisi, melainkan
harus dikembangkan sendiri oleh yang bersangkutan.
2.
Konseling (Counseling) disini penulis menguraikan 4 rumusan yang paling sering dijadikan sebagai
rujukan yaitu:
a.
Rumusan 1 (Jones, 1951)
1)
Konseling terdiri atas
kegiatan: pengungkapan fakta atau data tentang sisiwa, serta pengarahan kepada
siswa untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.
2)
Bantuan untuk diberikan
langsung kepada siswa
3)
Tujuan konseling adalah agar
siswa dapat mencapai perkembangan yang semakin baik, semakin maju.
b.
Rumusan 2 (Devision of
Counseling Pschology)
1)
Konseling merupakan proses
pemberian bantuan.
2)
Bantuan diberikan kepada
individu-individu yang sedang mengalami hambatan atau gangguan dalam proses
perkembangannya.
3)
Konseling dapat dilakukan
pada setiap waktu.
4)
Konseling bertujuan agar
individu dapat mencapai perkembangan yang optimal.
c.
Rumusan 3 (Mc Daniel 1965)
1)
Konseling merupakan rangkaian
pertemuan antara konselor dengan klien.
2)
Dalam pertemuan itu konselor
membantu klien mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
3)
Tujuan dan pemberian bantuan
itu adalah agar klien dapat menyesuaikan dirinya, baik dengan diri sendiri
maupun dengan lingkungannya.
d.
Rumusan 4 (Tolbert, 1959)
1)
Konseling dilakukan dalam
suatu hubungan tatap muka antara dua orang.
2)
Konseling dilakukan oleh
orang yang ahli.
3)
Konseling merupakan wahana
proses belajar bagi klien, yaitu belajar memahami diri sendiri, membuat rencana
untuk masa depan, dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi.
3.
Perbedaan antara Bimbingan dan Konseling
a)
Menurut
Bimo Walgito (2004/34), mengatakan bahwa perbedaan bimbingan dan konseling adalah
sebagai berikut:
Bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang
diberikan kepada individu atau sekumpulan individu dalam menghindari atau
mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya, agar individu dapat mencapai
kesejahteraan dalam kehidupannya.
Sedangkan konseling merupakan Hubungan antara seorang
penolong yang terlatih dan seseorang yang mencari pertolongan, di mana
keterampilan si penolong dan situasi yang diciptakan olehnya menolong orang
untuk belajar berhubungan
dengan dirinya sendiri dan orang lain dengan terobosan-terobosan yang semakin
bertumbuh.
b)
Menurut Daniel Mc (1956/45) ,
mengatakan bahwa perbedaan bimbingan dan konseling yaitu:
Bimbingan diadakan dalam rangka membantu setiap individu
untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri. Sedangkn konseling
merupakan suatu pertemuan langsung dengan individu yang ditujukan pada
pemberian bantuan kepadanya untuk dapat menyesuaikan dirinya secara lebih
efektif dengan dirinya sendiri dan lingkungan.
c)
Menurut Moh. Surya (1975/23), mengatakan bahwa perbedaan bimbingan dan konseling yaitu:
Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus
menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya
(self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya
dalam mencapai penyesuaian diridengan lingkungan, baik
keluarga, sekolah dan masyarakat. Sedangkan konseling merupakan suatu
hubungan rofessional antara seorang konselor yang terlatih dengan klien.
Hubungan ini biasanya bersifat individual atau seorang-seorang, meskipun
kadang-kadang melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu
klien memahami dan memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup hidupnya,
sehingga dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya
B. Fungsi
Bimbingan dan Konseling
Dengan
orientasi baru Bimbingan dan
konseling terdapat beberapa fungsi yang
hendak dipenuhi melalui pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling. yaitu:
1.
Pemahaman; menghasilkan pemahaman pihak-pihak
tertentu untuk pengembangan dan pemacahan masalah peserta didik meliputi : (a)
pemahaman diri dan kondisi peserta didik, orang tua, guru pembimbing; (2)
lingkungan peserta didik termasuk di dalamnya lingkungan sekolah; dan keluarga
peserta didik dan orang tua; lingkungan yang lebih luas, informasi pendidikan,
jabatan/pekerjaan, dan sosial budaya/terutama nilai-nilai oleh peserta didik.
2.
Pencegahan; menghasilkan
tercegahnya atau terhindarnya peserta didik dari berbagai permasalahan yang
timbul dan menghambat proses perkembangannya.
3.
Pengentasan; menghasilkan
terentaskannya atau teratasinya berbagai permasalahan yang dialami peserta
didik.
4.
Advokasi;
menghasilkan kondisi pembelaaan terhadap pengingkaran atas hak-hak
dan/atau kepentingan pendidikan.
5.
Pemeliharaan dan pengembangan; terpelihara dan
terkembangkannya berbagai potensi dan kondisi positif peserta didik dalam
rangka perkembangan dirinya secara mantap dan berkelanjutan.
C. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling :
Sejumlah prinsip mendasari gerak langkah
penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan konseling. Prinsip-prinsip ini berkaitan
dengan tujuan, sasaran layanan, jenis layanan dan kegiatan pendukung, serta
berbagai aspek operasionalisasi pelayanan bimbingan dan konseling. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1.
Prinsip-prinsip yang
berkenaan dengan sasaran layanan; (a) melayani semua individu tanpa memandang
usia, jenis kelamin, suku, agama dan status sosial; (b) memperhatikan tahapan
perkembangan; (c) perhatian adanya
perbedaan individu dalam layanan.
2.
Prinsip-prinsip yang
berkenaan dengan permasalahan yang dialami individu; (a) menyangkut pengaruh
kondisi mental maupun fisik individu terhadap penyesuaian pengaruh lingkungan,
baik di rumah, sekolah dan masyarakat sekitar, (b) timbulnya masalah pada
individu oleh karena adanya kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya.
3.
Prinsip-prinsip yang
berkenaan dengan program pelayanan Bimbingan dan Konseling; (a) bimbingan dan
konseling bagian integral dari pendidikan dan pengembangan individu, sehingga
program bimbingan dan konseling diselaraskan dengan program pendidikan dan
pengembangan diri peserta didik; (b) program bimbingan dan konseling harus
fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan; (c)
program bimbingan dan konseling disusun dengan mempertimbangkan adanya tahap
perkembangan individu; (d) program pelayanan bimbingan dan konseling perlu
diadakan penilaian hasil layanan.
4.
Prinsip-prinsip yang
berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan pelayanan; (a) diarahkan
untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu secara mandiri
membimbing diri sendiri; (b) pengambilan keputusan yang diambil oleh klien hendaknya atas
kemauan diri sendiri; (c) permaslahan individu dilayani oleh tenaga
ahli/profesional yang relevan dengan permasalahan individu; (d) perlu adanya
kerja sama dengan personil sekolah dan orang tua dan bila perlu dengan pihak lain yang berkewenangan dengan
permasalahan individu; dan (e) proses pelayanan bimbingan dan konseling
melibatkan individu yang telah memperoleh hasil pengukuran dan penilaian
layanan.
D. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Penyelenggaraan layanan
dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling selain dimuati oleh fungsi dan
didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga dituntut untuk memenuhi sejumlah
asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas bimbingan itu akan memperlancar pelaksanaan
dan lebih menjamin keberhasilan layanan/kegiatan, sedangkan pengingkarannya
akan dapat menghambat atau bahkan menggagalkan pelaksanaan, serta mengurangi
atau mengaburkan hasil layanan/kegiatan
bimbingan dan konseling itu sendiri.
Betapa pentingnya
asas-asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai jiwa dan nafas
dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas
ini tidak dijalankan dengan baik, maka
penyelenggaraan bimbingan dan konseling akan berjalan tersendat-sendat atau bahkan terhenti sama sekali.
Asas-
asas bimbingan dan konseling tersebut
adalah :
1.
Asas Kerahasiaan (confidential); yaitu asas yang menuntut
dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu
data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.
Dalam hal ini, guru pembimbing
(konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan keterangan
itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin,
2.
Asas Kesukarelaan; yaitu asas yang
menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/
menjalani layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing
(konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.
3.
Asas Keterbukaan; yaitu asas yang
menghendaki agar peserta didik (klien)
yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak
berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun
dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi
pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan
keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka,
guru pembimbing (konselor) terlebih
dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian
erat dengan asas kerahasiaan dan dan
kekarelaan.
4.
Asas Kegiatan; yaitu asas yang
menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat
berpartisipasi aktif di dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru
Pembimbing (konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat
aktif dalam setiap layanan/kegiatan yang
diberikan kepadanya.
5.
Asas Kemandirian; yaitu asas yang
menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling; yaitu peserta didik
(klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan
bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang
mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu
mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru
Pembimbing (konselor) hendaknya mampu
mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya
kemandirian peserta didik.
6.
Asas Kekinian; yaitu asas yang
menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan dan konseling yakni permasalahan
yang dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan
dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan
diperbuat peserta didik (klien) pada
saat sekarang.
7.
Asas Kedinamisan; yaitu asas yang
menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien)
hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta
berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke
waktu.
8.
Asas Keterpaduan; yaitu asas yang
menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik
yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang,
harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait dengan
bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan
sebaik-baiknya.
9.
Asas Kenormatifan; yaitu asas yang
menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling
didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat,
ilmu pengetahuan, dan kebiasaan –
kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling
ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati
dan mengamalkan norma-norma tersebut.
10.
Asas Keahlian; yaitu asas yang
menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselnggarakan
atas dasar kaidah-kaidah profesional.
Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan
konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam
penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan dalam penegakan kode etik bimbingan dan
konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak
mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas
atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan
kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih
tangan kasus dari orang tua, guru-guru
lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor), dapat mengalih-tangankan kasus kepada pihak
yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar
sekolah.
12.
Asas Tut Wuri Handayani; yaitu asas yang
menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat
menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan
keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang
seluas-luasnya kepada peserta didik
(klien) untuk maju.
E. Peranan
Kepala Sekolah, Guru Mata Pelajaran dan Wali Kelas dalam Bimbingan dan
Konseling
Dalam kurikulum 2004, secara tegas dikemukakan
bahwa : “Sekolah berkewajiban memberikan
bimbingan dan konseling kepada siswa yang menyangkut tentang pribadi, sosial,
belajar, dan karier”. Dengan adanya kata “kewajiban”, maka setiap sekolah
mutlak harus menyelenggarakan bimbingan dan konseling.
Keberhasilan penyelenggaraan bimbingan dan
konseling di sekolah, tidak lepas dari peranan berbagai pihak di sekolah.
Selain Guru Pembimbing atau Konselor sebagai pelaksana utama,
penyelenggaraan Bimbingan dan konseling
di sekolah, juga perlu melibatkan kepala sekolah , guru mata pelajaran dan wali
kelas.
Kepala sekolah
selaku penanggung jawab seluruh penyelenggaraan pendidikan di sekolah memegang
peranan strategis dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling di
sekolah. Secara garis besarnya, peran,
tugas dan tanggung jawab kepala sekolah,
sebagai berikut :
1. Mengkoordinir segenap kegiatan yang
diprogramkan dan berlangsung di
sekolah, sehingga pelayanan pengajaran, latihan, dan bimbingan dan konseling
merupakan suatu kesatuan yang terpadu, harmonis, dan dinamis.
2. Menyediakan prasarana, tenaga, dan
berbagai kemudahan bagi terlaksananya pelayanan bimbingan dan konseling yang
efektif dan efisien.
3. Melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian dan upaya tidak lanjut
pelayanan bimbingan dan konseling.
4. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan
pelayanan bimbingan dan konseling Di sekolah kepada Dinas Pendidikan yang
menjadi atasannya.
5. Menyediakan fasilitas, kesempatan, dan
dukungan dalam kegiatan kepengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah
Bidang BK.
Sedangkan, peran, tugas
dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam bimbingan dan
konseling adalah :
1. Membantu memasyarakatkan pelayanan
bimbingan dan konseling kepada siswa
2. Membantu Guru Pembimbing
mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling,
serta pengumpulan data tentang siswa-siswa tersebut.
3. Mengalihtangankan siswa yang
memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada Guru Pembimbing
4. Menerima siswa alih tangan dari Guru
Pembimbing, yaitu siswa yang menuntut Guru Pembimbing memerlukan pelayanan
pengajar /latihan khusus (seperti pengajaran/ latihan perbaikan, program
pengayaan).
5. Membantu mengembangkan suasana kelas,
hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan
pelayanan pembimbingan dan konseling.
6. Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani
layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
7. Berpartisipasi dalam kegiatan khusus
penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.
8. Membantu pengumpulan informasi yang
diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya
tindak lanjutnya.
Sebagai pengelola kelas tertentu dalam
pelayanan bimbingan dan konseling, Wali Kelas berperan :
1. membantu Guru Pembimbing melaksanakan
tugas-tugasnya, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya;
2. membantu Guru Mata Pelajaran
melaksanakan peranannya dalam pelayanan bimbingan dan konseling, khususnya
dikelas yang menjadi tanggung jawabnya;
3. membantu memberikan kesempatan dan
kemudahan bagi siswa, khususnya dikelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk
mengikuti/menjalani layanan dan/atau kegiatan bimbingan dan konseling;
4. berpartisipasi aktif dalam kegiatan
khusus bimbingan dan konseling, seperti konferensi kasus; dan
5. mengalihtangankan siswa yang
memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada Guru Pembimbing.
Berkenaan peran guru mata pelajaran dan wali kelas
dalam bimbingan dan konseling, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan bahwa
guru-guru mata pelajaran dalam melakukan pendekatan kepada siswa harus
manusiawi-religius, bersahabat, ramah, mendorong, konkret, jujur dan asli,
memahami dan menghargai tanpa syarat.
F. Kegiatan
Layanan dan Pendukung Bimbingan dan Konseling
Kegiatan layanan merupakan kegiatan dalam rangka
memenuhi fungsi-fungsi bimbingan dan konseling. Sedangkan kegiatan pendukung
merupakan kegiatan untuk menopang terhadap keberhasilan layanan yang diberikan.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional
saat ini terdapat tujuh jenis layanan dan lima kegiatan pendukung. Namun sangat
mungkin ke depannya akan semakin berkembang, baik dalam jenis layanan maupun kegiatan pendukung. Para ahli
bimbingan di Indonesia saat ini sudah mulai meluncurkan dua jenis layanan baru
yaitu layanan konsultasi dan layanan mediasi. Namun, kedua jenis layanan ini
belum dijadikan sebagai kebijakan formal dalam sistem pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan
tujuh jenis layanan dan lima kegiatan pendukung bimbingan dan konseling yang
saat ini diterapkan dalam pendidikan nasional.
1. Kegiatan
Layanan Bimbingan dan Konseling
a. Layanan
Orientasi; Layanan
orientasi merupakan layanan yang memungkinan peserta didik memahami lingkungan
baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk
mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru
itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap
awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat
beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan
memadai, yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
b. Layanan
Informasi; merupakan layanan yang memungkinan
peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi
belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi
adalah membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat
tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan
informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi
untuk pencegahan dan pemahaman.
c. Layanan Pembelajaran; merupakan layanan yang memungkinan
peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam
menguasai materi belajar atau penguasaan kompetensi yang cocok dengan
kecepatan dan kemampuan dirinya serta
berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat
mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
d. Layanan Penempatan dan Penyaluran; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik
memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar,
jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler,
dengan tujuan agar peserta didik
dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
e. Layanan Konseling Perorangan; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik
mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan
permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling
perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang
dihadapinya. Layanan Konseling
Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
f.
Layanan
Bimbingan Kelompok;
merupakan layanan
yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika
kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk
menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan
keputusan atau tindakan tertentu melalui
dinamika kelompok, dengan tujuan
agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan
(topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial,
serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok
berfungsi untuk pemahaman dan pengembangan
g. Layanan Konseling Kelompok; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik
(masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan
pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat
memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi
melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
2. Kegiatan
Pendukung Bimbingan dan Konseling
Untuk
menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan
di atas, kiranya perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung Dalam hal
ini, terdapat lima
jenis kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, yaitu :
a. Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan
keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan
lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan
dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta
didik dengan segala karakteristiknya dan
memahami karakteristik lingkungan.
b.
Himpunan
Data; merupakan
kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan
keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara
berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
c.
Konferensi
Kasus; merupakan
kegiatan untuk membahas permasalahan
peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat
memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan
klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan
konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak
yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka
pengentasan permasalahan klien.
d.
Kunjungan
Rumah; merupakan
kegiatan untuk memperoleh data,
keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta
didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat
diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari
pihak orang tua/keluarga untuk
mengentaskan permasalahan klien.
e. Alih Tangan Kasus;
merupakan kegiatan untuk untuk
memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang
dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih
kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli
lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang
lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.
H. Prosedur
Umum Bimbingan dan Konseling
Secara umum, prosedur bimbingan dan konseling
dapat ditempuh melalui langkah-langkah
seperti tampak dalam bagan berikut :
1. Identifikasi
kasus; merupakan
upaya untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan
dan konseling. Robinson dalam Abin
Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling,
yakni :
a. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil
semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat
ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
b. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh
keakraban sehingga tidak terjadi jurang
pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan
melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar
mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan
situasi-situasi informal lainnya.
c. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan
ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan
cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil
dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil
pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak
lanjutnya.
d. Melakukan
analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis
kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
e. Melakukan
analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik
yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2.
Identifikasi Masalah; langkah ini merupakan upaya untuk
memahami jenis, karakteristik kesulitan
atau masalah yang dihadapi peserta
didik. Dalam konteks Proses Belajar
Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1)
substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.
Untuk mengidentifikasi masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan
suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang
disebut Alat Ungkap Masalah (AUM).
Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi
peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3)
hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6)
pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (8) hubungan muda-mudi;
(9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
3.
Diagnosis; upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau
yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses
Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar peserta didik,
bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian
faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar
peserta didik, yaitu : (1) faktor internal;
faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti :
kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap
serta kondisi-kondisi psikis lainnya;
dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah
termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
4.
Prognosis; langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah
yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan
berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini
dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil
langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya
terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak
yang kompeten untuk diminta bekerja sama
menangani kasus - kasus yang
dihadapi.
5.
Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus);
jika jenis dan sifat serta sumber
permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih
berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian
bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh
guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut
aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya
tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli
yang lebih kompeten.
6.
Evaluasi dan Follow Up;
cara manapun yang
ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi
dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi
peserta didik.
Berkenaan
dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas telah memberikan
kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
a. Berkembangnya
pemahaman baru yang
diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
b. Perasaan
positif sebagai dampak dari proses dan materi yang
dibawakan melalui layanan, dan
c. Rencana
kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka
mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara
itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa
kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan,
yaitu apabila:
a. Peserta didik telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang
dihadapi.
b. Peserta didik telah memahami (self insight) permasalahan yang
dihadapi.
c. Peserta didik telah mulai menunjukkan
kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
d. Peserta didik telah menurun ketegangan
emosinya (emotion stress release).
e. Peserta didik telah menurun
penentangan terhadap lingkungannya
f.
Peserta
didik mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan
dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
g. Peserta didik telah menunjukkan
kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap
lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah
diambilnya.
I.
Bimbingan terhadap Peserta Didik Bermasalah
Bimbingan
terhadap peserta didik bermasalah tetap menjadi perhatian bimbingan dan
konseling, namun perlu diingat bahwa tidak semua masalah peserta didik harus
ditangani oleh Guru Pembimbing (konselor).
Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah
berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam bagan
berikut :
1. Masalah
(kasus) ringan, seperti :
membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman
sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas
ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali
kelas dan guru dengan berkonsultasi
kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
2. Masalah
(kasus) sedang, seperti :
gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar
sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras
tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila.
Kasus sedang dibimbing oleh guru pembimbing (konselor), dengan berkonsultasi
dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat
pula mengadakan konferensi kasus.
3. Masalah
(kasus) berat, seperti :
gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, peserta didik hamil,
percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan
kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang
sebelumnya terlebih dahulu dilakukan
kegiatan konferensi kasus.
G. Proses
Konseling
Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan
Konseling yang diberikan kepada peserta didik, tampaknya untuk layanan
konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih. Karena layanan yang satu
ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan bimbingan dan konseling.
Dalam prakteknya,
memang strategi layanan bimbingan
dan konseling harus terlebih dahulu mengedepankan layanan – layanan yang
bersifat pencegahan dan pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat
pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena itu, guru maupun konselor
seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik konseling, sehingga
bantuan yang diberikan kepada peserta
didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan
efisien.
Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga
tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap mendefinisikan masalah); (2) tahap inti
(tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan tindakan).
1. Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui
konselor hingga berjalan sampai konselor dan klien menemukan masalah klien.
Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :
a. Membangun hubungan konseling yang
melibatkan klien (rapport).
Kunci keberhasilan
membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan
konseling, terutama asas kerahasiaan,
kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.
b. Memperjelas dan mendefinisikan
masalah.
Jika hubungan
konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka
konselor harus dapat membantu memperjelas masalah klien.
c. Membuat penaksiran dan perjajagan
Konselor berusaha
menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin
dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan
berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.
d. Menegosiasikan kontrak
Membangun perjanjian
antara konselor dengan klien, berisi :
1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu
pertemuan yang diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkebaratan.
2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas
antara konselor dan klien.
3) Kontrak kerjasama dalam proses
konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor
dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.
2. Tahap Inti (Tahap Kerja)
Setelah tahap Awal
dilaksanakan dengan baik, proses
konseling selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja.
Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
a. Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah
klien lebih dalam.
Penjelajahan masalah
dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap
masalah yang sedang dialaminya. Konselor melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau
kembali permasalahan yang dihadapi
klien.
b. Menjaga agar hubungan konseling tetap
terpelihara.
Hal ini bisa terjadi
jika :
1) Klien merasa senang terlibat dalam
pembicaraan atau waancara konseling, serta menampakan kebutuhan untuk
mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
2) Konselor berupaya kreatif
mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar peduli
terhadap klien.
c. Proses konseling agar berjalan sesuai
kontrak.
Kesepakatan yang telah
dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.
3. Tahap Akhir (Tahap Tindakan)
Pada tahap akhir ini
terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a. Konselor bersama klien membuat
kesimpulan mengenai hasil proses konseling
b. Menyusun rencana tindakan yang akan
dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
c. Mengevaluasi jalannya proses dan hasil
konseling (penilaian segera).
d. Membuat perjanjian untuk pertemuan
berikutnya
Pada tahap akhir
ditandai beberapa hal, yaitu ;
a. Menurunnya kecemasan klien
b. Perubahan perilaku klien ke arah yang
lebih positif, sehat dan dinamis.
c. Pemahaman baru dari klien tentang
masalah yang dihadapinya.
d. Adanya rencana hidup masa yang akan
datang dengan program yang jelas.
K. Teknik
Umum Konseling
Teknik umum
konseling merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan
konseling dan merupakan teknik dasar
konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini
akan disampaikan beberapa jenis teknik umum, diantaranya :
1. Perilaku Attending; perilaku attending disebut
juga perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen kontak mata, bahasa
tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat :
a. Meningkatkan
harga diri klien.
b. Menciptakan
suasana yang aman
c. Mempermudah
ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh
perilaku attending yang baik :
a. Kepala :
melakukan anggukan jika setuju
b. Ekspresi
wajah : tenang, ceria, senyum
c. Posisi tubuh
: agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat,
duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
d. Tangan :
variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai
isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
e. Mendengarkan
: aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan
bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Contoh
perilaku attending yang tidak baik :
a. Kepala :
kaku
b. Muka : kaku,
ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang
bicara, mata melotot.
c. Posisi tubuh
: tegak kaku, bersandar, miring, jarak
duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
d. Memutuskan
pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan
klien berfikir dan berbicara.
e. Perhatian :
terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.
2. Empati; empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa
yang dirasakan klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau
tentang klien. Empati dilakukan sejalan
dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk empati. Terdapat
dua macam empati, yaitu :
a. Empati
primer, yaitu bentuk empati yang hanya
berusaha memahami perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan terbuka.
Contoh
ungkapan empati primer :
” Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda”.
” Saya dapat memahami pikiran Anda”.
” Saya mengerti keinginan Anda”.
b. Empati
tingkat tinggi, yaitu empati apabila
kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien
lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan
tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk
mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk
penderitaannya.
Contoh
ungkapan empati tingkat tinggi :
”Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan,
dan saya ikut terluka dengan
pengalaman Anda itu”.
3. Refleksi; refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali
kepada klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan
terhadap perilaku verbal dan non verbalnya.Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu:
a. Refleksi
perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan perasaan klien
sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan adalah ....”
” Barangkali Anda merasa....”
” Hal itu rupanya seperti ...(kiasan)”
” Adakah yang Anda maksudkan...”
b. Refleksi
pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien
sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan...”
” Barangkali
yang akan Anda utarakan
adalah...”
” Adakah yang Anda maksudkan...”
c. Refleksi
pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-pengalaman klien sebagai
hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan suatu...”
” Barangkali
yang akan Anda utarakan
adalah...”
” Adakah yang Anda maksudkan peristiwa...”
4. Eksplorasi; eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan,
pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini penting dilakukan karena banyak klien
menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan
pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa
rasa takut, tertekan dan terancam.
Seperti halnya pada teknik
refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :
a.
Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat
menggali perasaan klien yang tersimpan.
Contoh :
”Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan
bingung yang dimaksudkan ”
”Saya kira rasa sedih Anda sangat mendalam.
Dapat Anda kemukakan lebih lanjut ?”
b.
Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide,
pikiran, dan pendapat klien.
Contoh :
”Saya yakin
Anda dapat menjelaskan lebih lanjut
ide Anda tentang sekolah sambil bekerja”
”Saya kira pendapat Anda mengenai hal itu baik..Dapatkah
Anda menguraikannya lebih lanjut ?
c.
Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau
teknik untuk menggali pengalaman-pengalaman klien.
Contoh :
”Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda
lalui Namun saya ingin memahami lebih
jauh tentang pengalaman tersebut dan
pengaruhnya terhadap pendidikan Anda”
5. Menangkap Pesan (Paraphrasing); menangkap pesan (paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan
kembali esensi atau initi ungkapan klien
dengan teliti mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang mudah
dan sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal : adakah atau nampaknya,
dan mengamati respons klien terhadap konselor.
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan
kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa
yang dikatakan klien; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk
ringkasan ; (3) memberi arah wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali
persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh
dialog :
Klien :”Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya tidak tahu mengapa demikian ? ”
Konselor :
”Tampaknya Anda masih ragu.”
6. Pertanyaan Terbuka (Opened Question); pertanyaan
terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara mengungkapkan
perasaan, pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan teknik pertanyaan terbuka
(opened question). Pertanyaan yang
diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya.
Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan atau
sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Contoh :
” Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin
kita bicarakan ? ”
” Bagaimana perasaan Anda saat ini ?”
” Dapatkah Anda mengemukakan hal itu lebih lanjut ?”
7. Pertanyaan Tertutup (Closed Question); dalam
konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal-hal tertentu dapat pula digunakan
pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak
atau dengan kata-kata singkat.
Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1) mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan
atau memperjelas sesuatu; dan (3)
menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh
dialog :
Klien :”Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar kelompok yang selama ini belum pernah
saya lakukan”.
Konselor : ”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ? ”.
Klien :
”Empat ”
Konselor : ”Sekarang berapa ? ”
Klien :
”Sebelas ”
8. Dorongan minimal (Minimal Encouragement); dorongan
minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat
terhadap apa yang telah dikemukakan klien.Misalnya dengan menggunakan ungkapan
: oh..., ya...., lalu..., terus....dan...
Tujuan dorongan minimal agar
klien terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan.
Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan
pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada
pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien.
Contoh
dialog :
\ Klien : ” Saya putus asa... dan saya nyaris... ”
(klien menghentikan pembicaraan)
Konselor : ” ya...”
Klien : ” nekad bunuh
diri”
Konselor : ” lalu...”
9. Interpretasi; yaitu teknik
untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan merujuk
pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk
memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman
dari hasil rujukan baru tersebut.
Contoh
dialog :
Klien :”Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian membantu
orang tua merupakan bakti saya pada keluarga, karena
adik-adik saya banyak dan amat
membutuhkan biaya.”
Konselor :”Pendidikan tingkat SMA pada
masa sekarang adalah mutlak bagi semua
warga negara. Terutama hidup di kota
besar seperti Anda. Karena tantangan
masa depan makin banyak, maka dibutuhkan
manusia Indonesia yang berkualitas.
Membantu orang tua memang harus, namun mungkin disayangkan jika
orang seperti Anda yang tergolong
akan meninggalkan SMA”.
10. Mengarahkan
(Directing); yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu.
Misalnya menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan
sesuatu..
Klien :”Ayah saya sering marah-marah tanpa
sebab. saya tak dapat lagi menahan diri akhirnya terjadi pertengkaran
sengit.”
Konselor :”Bisakah
Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”
11. Menyimpulkan Sementara (Summarizing); yaitu teknik
untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan semakin
jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk : (1) memberikan kesempatan
kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan;
(2) menyimpulkan kemajuan hasil
pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan kualitas diskusi; (4) mempertajam
fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
” Setelah kita berdiskusi beberapa
waktu alangkah baiknya jika simpulkan
dulu agar semakin jelas hasil
pembicaraan kita. Dari materi
materi pembicaraan yang kita diskusikan, kita sudah sampai pada dua
hal: pertama, tekad Anda untuk
bekerja sambil kuliah makin jelas;
kedua, namun masih ada hambatan yang
akan hadapi, yaitu : sikap orang
tua Anda yang menginginkan Anda segera
menyelesaikan studi, dan waktu bekerja
yang penuh sebagaimana tuntutan dari
perusahaan yang akan Anda masuki.”
12. Memimpin (leading); yaitu teknik untuk mengarahkan
pembicaraan dalam wawancara konseling untuk lebih fokus sehingga tujuan konseling dapat diwujudkan.
Contoh dialog :
Klien :”Saya mungkin berfikir juga tentang masalah hubungan dengan pacar. Tapi bagaimana ya?”
Konselor :”Sampai
ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil bekerja. Mungkin Anda tinggal
merinci kepedulian itu. Mengenai
pacaran apakah termasuk dalam kerangka
kepedulian Anda juga ?”
13. Fokus; yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan
perhatian pada pokok pembicaraan. Pada umumnya dalam wawancara konseling, klien
akan mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena
itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar dia dapat menentukan apa
yang fokus masalah. Misalnya dengan
mengatakan :
”Apakah tidak sebaiknya jika pokok
pembicaraan kita berkisar dulu soal hubungan Anda dengan orang tua yang kurang
harmonis ”.
Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :
a. Fokus pada
diri klien.
Contoh :
”Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan ”.
”Tampaknya
Anda berjuang sendirian”
b. Fokus pada
orang lain.
Contoh :
” Roni, telah membuat kamu menderita,
Terangkanlah tentang dia dan apa yang
telah dilakukannya ?”
c. Fokus pada
topik.
Contoh :
” Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan aborsi ? Pikirkanlah masak-masak dengan
berbagai pertimbangan”.
d. Fokus
mengenai budaya.
Contoh:
” Mungkin budaya menyerah dan mengalah pada laki-laki harus diatas sendiri
oleh kaum wanita. Wanita tak boleh
menjadi obyek laki-laki.”
14. Konfrontasi ; yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat
adanya inkonsistensi antara perkataan dengan perbuatan atau bahasa badan, ide
awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya
adalah : (1) mendorong klien mengadakan
penelitian diri secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien
kepada kesadaran adanya diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.
Penggunaan teknik ini
hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1) memberi komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten
dengan cara dan waktu yang tepat;(2) tidak menilai apalagi menyalahkan; (3)
dilakukan dengan perilaku attending dan empati.
Contoh
dialog :
Klien : ” Saya baik-baik saja”.
(suara rendah, wajah murung,
posisi tubuh gelisah).”
Konselor :”Anda
mengatakan baik-baik saja, tapi
kelihatannya ada yang tidak beres”
”Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan diri ”.
15. Menjernihkan (Clarifying); yaitu teknik untuk
menjernihkan ucapan-ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas dan agak
meragukan. Tujuannya adalah : (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya
dengan jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang
logis, (2) agar klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya.
Contoh dialog
:
Klien :”Perubahan yang terjadi di keluarga saya membuat saya bingung. Saya
tidak mengerti siapa yang menjadi pemimpin di rumah itu.”
Konselor :”Bisakah
Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya peran ayah, ibu, atau
saudara-saudara Anda.”
16. Memudahkan (facilitating); yaitu teknik untuk membuka
komunikasi agar klien dengan mudah berbicara
dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya
secara bebas
Contoh :
”Saya yakin Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan
mendengarkan dengan sebaik-baiknya.”
17. Diam; teknik diam dilakukan dengan cara attending, paling lama 5 – 10
detik, komunikasi yang terjadi dalam bentuk perilaku non verbal. Tujuannya
adalah (1) menanti klien sedang berfikir; (2) sevagai protes jika klien ngomong berbelit-belit; (3)
menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien babas bicara.
Contoh
dialog :
Klien :”Saya tidak senang dengan perilaku guru itu”
Konselor :”..............” (diam)
Klien :” Saya..harus bagaimana.., Saya.. tidak tahu..
Konselor :”..............” (diam)
18. Mengambil Inisiatif; teknik ini dilakukan manakala
klien kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan kurang parisipatif.
Konselor mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi. Teknik
ini bertujuan : (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2) jika klien lambat berfikir untuk mengambil
keputusan; (3) jika klien kehilangan arah pembicaraan.
Contoh:
”Baiklah, saya pikir Anda mempunyai
satu keputusan namun masih belum keluar. Coba Anda renungkan kembali”.
19. Memberi Nasehat; pemberian nasehat sebaiknya dilakukan jika klien
memintanya. Walaupun demikian, konselor tetap harus mempertimbangkannya apakah
pantas untuk memberi nasehat atau tidak. Sebab dalam memberi nasehat tetap
dijaga agar tujuan konseling yakni kemandirian klien harus tetap tercapai.
Contoh
respons konselor terhadap permintaan klien :
”Apakah hal seperti ini pantas saya
untuk memberi nasehat Anda ? Sebab, dalam hal seperti ini saya yakin Anda lebih
mengetahuinya dari pada saya.”
20. Pemberian informasi; sama halnya dengan nasehat,
jika konselor tidak memiliki informasi sebaiknya dengan jujur katakan bahwa dia
mengetahui hal itu. Kalau pun konselor mengetahuinya, sebaiknya tetap diupayakan agar klien
mengusahakannya.
Contoh :
”Mengenai berapa biaya masuk ke
Universitas Pendidikan Indonesia, saya sarankan Anda bisa langsung bertanya ke
pihak UPI atau Anda berkunjung ke situs www.upi.com di internet”.
21. Merencanakan; teknik ini digunakan menjelang akhir sesi konseling
untuk membantu agar klien dapat membuat rencana tindakan (action), perbuatan
yang produktif untuk kemajuan klien.
Contoh :
”Nah, apakah tidak lebih baik
jika Anda mulai menyusun rencana yang baik berpedoman hasil pembicaraan
kita sejak tadi ”
22. Menyimpulkan; teknik ini digunakan untuk menyimpulkan hasil
pembicaraan yang menyangkut : (1) bagaimana keadaan perasaan klien saat ini,
terutama mengenai kecemasan; (2) memantapkan rencana klien; (3) pemahaman baru
klien; dan (4) pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya pada sesi
berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan konseling lanjutan.
L.
Teknik-Teknik
Khusus
Dalam konseling, di samping
menggunakan teknik-teknik umum, dalam hal-hal tertentu dapat menggunakan
teknik-teknik khusus. Teknik-teknik khusus ini dikembangkan dari berbagai pendekatan
konseling, seperti pendekatan Behaviorisme, Rational Emotive Theraphy, Gestalt
dan sebagainya
Di bawah disampaikan beberapa
teknik – teknik khusus konseling, yaitu :
1.
Latihan
Asertif; teknik ini
digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri
bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di
antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan
tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif
lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan
konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif
ini.
2.
Desensitisasi
Sistematis; desensitisasi
sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan
untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan
klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan perilaku yang
diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku
yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak
dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis
hakekatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus perilaku
yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan
respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
3.
Pengkondisian
Aversi; teknik ini dapat digunakan untuk
menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan
kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan
tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak
dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi
antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
4.
Pembentukan
Perilaku Model; teknik ini dapat digunakan untuk membentuk
Perilaku baru pada klien, dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam
hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat
menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati
dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil
dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
5. Permainan
Dialog; teknik
ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua
kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya :
a. Kecenderungan orang tua lawan
kecenderungan anak.
b. Kecenderungan bertanggung jawab lawan
kecenderungan masa bodoh.
c. Kecenderungan “anak baik” lawan
kecenderungan “anak bodoh”.
d. Kecenderungan otonom lawan
kecenderungan tergantung.
e. Kecenderungan kuat atau tegar lawan
kecenderungan lemah.
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut
pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu
posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat
dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.
6.
Latihan Saya Bertanggung Jawab; merupakan teknik yang
dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima
perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada orang
lain.
Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk
membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu
dengan kalimat : “...dan saya
bertanggung jawab atas hal itu”.
Contoh :
“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan
sekarang, dan saya bertanggung jawab atas ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt
akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin
selama ini diingkarinya.
7. Bermain Proyeksi;
Proyeksi :
v
Memantulkan
kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau
menerimanya
v
Mengingkari
perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang lain.
Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan
kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya. Dalam teknik bermain
proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal
yang diproyeksikan kepada orang lain.
8. Teknik Pembalikan; gejala-gejala dan perilaku tertentu
sering kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang
mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran
yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.
Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada
klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.
9. Bertahan dengan
Perasaan; teknik
ini dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati
yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong
klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari
stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan.
Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan
atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk
menyelam lebih dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya
itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju
perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya
mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi
membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang
ingin dihindarinya itu.
10. Home work assigments; teknik yang dilaksanakan dalam bentuk
tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan
sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas
rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak
rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan
untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan
tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment yang
diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka
dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan
sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk
pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada
konselor.
11. Adaptive;
teknik yang digunakan
untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus
menyesuaikan dirinya dengan perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan yang
diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
12. Bermain peran; teknik
untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan
negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien
dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
13. Imitasi; teknik
untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan
maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.
Catatan : beberapa contoh
phrase dalam wawancara konseling di atas diambil dari Sofyan S. Willis (2004) dan
Sugiharto (2005)
DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsuddin
Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Akhmad Sudrajat.
1986. Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Harga
Diri Siswa oleh Orang Tua dengan Prilaku
Sosial Siswa di Sekolah (Skripsi). Bandung : PPB-FIP IKIP Bandung.
Calvin
S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori
Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius
Chaplin,
J.P. (terj. Kartini Kartono).2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta :
P.T. Raja Grafindo Persada.
Depdiknas,
2004. Dasar Standarisasi Profesi
Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
---------
2003. Pedoman Penyelenggaraaan Program
Percepatan Belajar SD, SMP dan SMA. Jakarta : Dirjen Dikdasmen.
---------,1990.
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990
tentang Pendidikan Menengah. Jakarta : Depsiknas
Djumhar I dan Moh.
Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di
Sekolah (Guidance & Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Gendler, Margaret
E..1992. Learning & Instruction;
Theory Into Practice. New York :
McMillan Publishing.
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum.
Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth
B. 1980. Developmental Phsychology.
New Yuork : McGraw-Hill Book Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran.
Bandung PPB - IKIP Bandung.
Muhibbin Syah. 2003.
Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja
Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004.
Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling,
Jakarta : Depdiknas.
----------, dkk.
2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta.
Shertzer, B. & Stone, S.C. 1976. Fundamental
of Gudance. Boston : HMC
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling
Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sugiharto.(2005). Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Sumadi Suryabrata.
1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta
: Rajawali.
Sunaryo
Kartadinata.2003. Inventori Tugas Perkembangan. Bandung : Lab.
PPB-UPI Bandung
Syamsu Yusuf LN.
2003. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya
Remaja.
W.S. Winkel 1982. Bimbingan dan
Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta : Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar