Minggu, 25 Januari 2015

REGULASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH




Pengertian "otonom" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. 
Otonomi daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 dijelaskan  selanjutnya  yang disebut    daerah,     adalah    kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan yang dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2004 sebagai berikut:
  1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang   pemerintahan    oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Dekonsentrasi  adalah pelimpahan wewenang   pemerintahan   oleh Pemerinta kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
  3. Tugas pembantuan adalah penugasan  dari    Pemerintah    kepada daerah dan/atau  desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari  pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.


Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi. Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN. Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang international relation, international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang seharusnya bisa diurus pemerintah daerah.

Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus. Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman pemerintah daerah. Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan persetujuan dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan mendukung. Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan. Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. 
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan keadaan. Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan ketika masa orde baru. Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.


Otonomi daerah diselenggarakan untuk menterjemahkan gagasan desentralisasi sebagai kritik atas kuatnya sentralisasi yang diselenggarakan pada masa pemerintahan rezim Soeharto. Desentralisasi dipilih sebab ia memiliki kelebihan dibanding sentralisasi negara yang melahirkan problem bernegara. Melalui reformasi, otonomi daerah menjadi kebijakan yang dibuat untuk bisa membangun tata kelola baru yang lebih baik dibanding masa sebelumnya. Otonomi daerah memiliki prinsip-prinsip yang harus ada untuk bisa mencapai tujuan. Prinsip itu adalah:
  1. Adanya pemberian kewenangan dan hak kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri
  2. Dalam menjalankan wewenang dan hak mengurus rumah tangganya, daerah tidak dapat menjalankan di luar  batas-batas wilayahnya
  3. Penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, pelayanan yang prima, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
  4. Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemampuan daerah dan dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat.
  5. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama yakni politik, ekonomi serta sosial dan budaya.
  1. Bidang politik. Otonomi daerah adalah sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
  2. Bidang ekonomi. Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi untuk masyarakat daerah
  3. Bidang sosial budaya Otonomi daerah digunakan untuk  menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika kehidupan masyarakat.


Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah.  Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
  1. Kewenangan yang tumpang tindih Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
  2. Anggaran Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
  3. Pelayanan Publik Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
  4. Politik Identitas Diri Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis
  5. Orientasi Kekuasaan Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
  6. Lembaga Perwakilan Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
  7. Pemekaran Wilayah Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional  secara keseluruhan.
  8. Pilkada Langsung Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.

Penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan bisa memacu prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah untuk bisa menjalankan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan keseriusan agar kebijakan ini bisa berhasil dijalankan. Pokok-pokok penyelenggaraan otonomi daerah meliputi:
  1. Penyerahan kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan.
  2. Dalam otonomi pemerintahan daerah terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh dan propinsi yang diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintahan pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah propinsi.
  3. Gubernur propinsi, selain berstatus kepala daerah otonom, juga sebagai wakil pemerintah pusat. Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan hierarki antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota), maka hubungan provinsi dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur mengkoordinasikan tugas-tugas pemerintahan antar kabupaten dan kota di wilayahnya. Gubernur juga melakukan supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintah berdasarkan otnomi daerah di dalam wilayahnya.
  4. Adanya penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah. Otonomi daerah memberi kewenangan untuk mempertegas DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. Selain itu untuk memfungsikan peran pemberdayaan dan penyalur aspirasi masyarakat yang sebenarnya.
  5. Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanaan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif dengan kebutuhan daerah.
  6. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
  7. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat ”block grant”, pengatura pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
  8. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap uapaya memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial suatu bangsa.
Dalam otonomi daerah, ada pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah yang diatur menurut UU No.32 tahun 2004. Pembagian wewenang itu meliputi: 1. Kewewenangan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 3) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama; 2. Kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi (Pasal 13 ayat 1 UU. No. 32 Tahun 2004):
  1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
  2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
  3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
  4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
  5. Penanganan bidang kesehatan;
  6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
  7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
  8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
  9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
  10. Pengendalian lingkungan hidup;
  11. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
  12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
  13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
  14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
  15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan
  16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
3. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 1, UU No. 32 Tahun 2004) a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan;

Penyusunan Perda Partisipatif
Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan sejumlah perubahan-perubahan yang cukup penting, terutama di daerah. Di bidang politik, otonomi daerah berdampak positif bagi perkembangan demokrasi lokal. Indikatornya antara lain misalnya, berfungsinya DPRD sebagai lembaga legeslatif daerah. Pada era diberlakukannya UU No.5/1974, DPRD hanyalah kelengkapan eksekutif daerah. Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar sebagai lembaga legeslatif dan mitra sejajar eksekutif daerah. Indikator lain masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah. Hal tersebut bisa terjadi karena pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap kebijakan baru yang dibuat pemerintah daerah. Di sisi lain kebijakan otonomi daerah juga memendam banyak persoalan. Di antara persoalan tersebut adalah lemahnya SDM daerah yang sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan daerah. Hal ini terlihat misalnya dari banyaknya produk Perda yang bermasalah.Disinyalir misalnya, dalam rentang waktu setahun setelah otonomi daerah saja, dari 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya bermasalah. Pada konteks inilah, dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, penyusunan Perda, perlu mengikutsertakan masyarakat dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut akan mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila Perda ditetapkan dan diundangkan I. Mengapa Partisipasi diperlukan Kebijakan Otonomi Daerah telah melahirkan angin segar untuk pelibatan masyarakat, karena kebijakan ini diambil dengan tujuan meningkatkan pelibatan masyarakat. Pemerintahan lokal secara fisik memang lebih dekat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah. Dan kebijakan yang diambil umumnya langsung berkaitan dengan keseharian masyarakat. Dampaknya jika ada kebijakan yang kurang sesuai masyarakat dapat segera mengkritisi kebijakan tersebut dan penyelenggara pemerintahan yang hidup ‘bersama’  masyarakatnya mau-tidak mau harus merespon aspirasi masyarakatnya.  Penyelengaraan pemerintahan lokal yang lebih dinamis ini telah menimbulkan suatu kebutuhan bersama untuk mengatur  pelibatan masyarakat. II. Hak Masyarakat, Kewajiban Pemerintah dan Mekanisme Partisipasi Hak Masyarakat Sebagaimana tertuang dalam PP nomer 68 tahun 1999 berkenaan dengan  peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara, maka masyarakat mendapatkan hak-haknya sebagai berikut;
  1. Hak mencari dan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan negara
  2. Hak menyampaikan saran dan pendapat
  3. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara
  4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan hak-haknya diatas
Kewajiban Pemerintah Sebagai konsekwensi adanya pengakuan terhadap hak masyarakat maka penyelenggara pemerintahan  mempunyai kewajiban untuk  mendengar pendapat masyarakat (yang berkepentingan) dalam proses perumusan dan penetapan  kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat.  Dengan demikian penyelenggara pemerintahan sebagai penerima mandat masyarakat  berkepentingan untuk menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat.  Dan terjaminnya hak-hak masyarakat  menjadi salah satu indikator  keberhasilan penyelenggaraan pamerintahan. Mekanisme Partisipasi Mekanisme yang memungkinkan  pelibatan aktif masyarakat minimal harus menjamin terlaksananya hak masyarakat  sehingga dalam mekanisme pelibatan masyarakat ini  minimal harus mengatur: 1. Penyampaian informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan prosedur  pelibatan masyarakat 2. Tanggapan terhadap aspirasi masyarakat 3. Hasil akomodasi masyarakat dan 4. Keberatan III. Tingkatan Dan Bentuk Partisipasi Masyarakat
Derajat
Partisipasi Masyarakat
Contoh
Tinggi
Memiliki Kontrol
Lembaga Pemerintah, legislatif, LSM, mendorong masyarakat, untuk mengindentifikasikan masalah, tujuan,  maksud dan kesimpulan-kesimpulan kunci. Lembaga memiliki kemauan membantu masyarakat dalam setiap langkah-langkahdalam menyelesaikan tujuan-tujuan tersebut.

Memiliki Kekuasaan yang terlegasi
Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM  –  mengidentifikasikan masalah dan menyampaikannya kepada masyarakat, mendefinisikan keterbatatasan serta membuat keputusan-keputusan yang dapat digabungkan dalam suatu rencana yang diterima

Keterlibatan dalam perencanaan
Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan perencanaan tentative dan terbuka untuk menerima perubahan dari subjek yang dipengaruhi. Mengharapkan perubahan rencana paling sedikit dan mungkin lebih dari itu.

Saran
Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan rencana dan mengundang tanggapan masyarakat. Rencana hanya dipersiapkan untuk dimodifikasi, jika memang diperlukan

Dikonsultasi
Lembaga  - pemerintah, legislatif, LSM – mencoba menawarkan rencana. Mencari dukungan agar, memperoleh penerimaan atau memberi sanksi, sehingga pengadaan administrasi tercapai seperti yang diharapkan.

Menerima informasi sosialisasi
Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM – membuat perencanaan dan mengumumkannya. Masyarakat dikerahkan untuk tujuan mendengarkan informasi. Masyarakat berkumpul menjadi suatu yang diharapkan.
Rendah
Tidak ada sama sekali
Masyarakat tidak mengetahui sama sekali.

Sumber: Community participation for health for all. London, Community participation group of the United Kingdom for all network, 1991 dalam Suhardi Suryadi dan Julmansyah 2001 IV.  Alur Partisipasi Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam penyusunan peraturan daerah, partisipasi dikatakan optimal bila  masyarakat terlibat  secara aktif dari awal proses penyusunan hingga  peraturan daerah itu disahkan menjadi produk hukum.  Hal ini dapat dilakukan bila masyarakat dan lembaga legislatif saling berjalan sinergis untuk mewujudkan produk hukum yang terbaik untuk daerah. Dalam fungsinya sebagai Lembaga legilslasi, DPRD perlu menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat (selain menyerap masukan dari inisiatif anggota DPRD atau masukan dari Pemda) untuk bahan penyusunan kebijakan daerah.   Semua aspirasi yang masuk dicatat dan didokumentasikan dengan baik.  Selanjutnya DPRD melakukan proses seleksi dengan memperhitungkan berbagai aspek seperti sumberdaya, sumber dana, tingkat keperluan dan berbagai keterbatasan-keterbatasan lainya.   Tujuan dari proses seleksi ini adalah untuk menyusun prioritas usulan-usulan yang akan dibahas lebih lanjut di DPRD. Untuk mendapatkan partisipasi yang optimal, sebelum dibahas lebih lanjut di DPRD, usulan yang sudah diprioritaskan tersebut perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas.  Paling tidak masyarakat mengetahui dari sekian aspirasi yang masuk di DPRD ada priotitas yang akan dibahas lebih lanjut.  Langkah ini dilakukan selain untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, juga merupakan  bentuk Transparansi lembaga Legislasi kepada publik.  Dari sini masyarakat akan mengetahui aspirasi mana yang menjadi prioritas DPRD dan mengapa aspirasi tersebut yang dipilih. Setelah disosialisasikan, DPRD perlu menyerap aspirasi dari masyarakat.   Aspirasi  dari masyarakat cukup penting karena akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan.  Upaya untuk menyerap aspirasi tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yakni cara pasif dan aktif.  Cara pasif DPRD menunggu reaksi masyarakat setelah usulan-usulan prioritas disosialisasikan.  Sedangkan cara aktif,  DPRD mengundang atau mengajak bekerjasama dengan elemen masyarakat yang berkepentingan untuk melakukan pembahasan. Setelah mendapatkan masukan dari masyarakat, usulan prioritas di bahas di DPRD melalui Rapat Paripurna (I dan II).   Dari rapat ini, usulan-usulan prioritas tersebut akan ditetapkan untuk dibahas lebih mendalam dalam rapat-rapat komisi.  Jumlah usulan yang ditetapkan tergantung dari hasil pembahsan dalam rapat paripurna. Selama sidang komisi, DPRD kembali membuka ruang publik untuk mendapatakan masukan-masukan dari masyarakat.  Bila perlu Draft Raperda yang telah dibahas di sidang komisi disosialisasikan dan dibahas bersama masyarakat untuk mendapatkan masukan-masukan.  Cara yang ditempuh sebagaimana telah disebutkan diatas, yakni melalui dua cara.  Cara pasif menunggu reaksi masyarakat setelah draft disebarluaskan.  Sedangkan Cara aktif mengajak berbagai elemen yang berkepentingan dimasyarakat untuk melakukan pembahasan bersama. Selanjutnya setelah melakukan pembahasan disidang komisi, masyarakat perlu mengetahui proses pengesahan Raperda dalam sidang paripurna DPRD.  Keterlibatan masyarakat terlibat dalam proses pengesahan merupakan ujung dari proses partisipasi masyrakat dalam penyusunan Peraturan Daerah. Alur proses Partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah bisa dilihat dalam gambar berikut: {mosimage}
I. Pendahuluan Meningkatnya kebutuhan akan berbagai peraturan perundang-undangan tidak dapat dihindari, tidak saja untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat saat ini (termasuk akibat diberikannya otonomi kepada daerah), tetapi merupakan perangkat yang dibutuhkan dalam era globalisasi. Peningkatan kuantitas peraturan perundang-undangan tersebut seyogyanya diimbangi dengan peningkatan kualitas. Peraturan perundang-undangan hendaknya disusun secara hati-hati dan seksama dengan mengikuti syarat-syarat teknis dan juridis tanpa mengabaikan kaidah-kaidah filosofis dan sosiologis. Suatu kajian hukum/perundang-undangan perlu dilakukan dengan penelitian-penelitian kepustakaan dan empiris, guna memperoleh suatu peraturan dengan kualitas yang baik dan dapat berlaku efektif dalam masyarakat. Penelitian terhadap peraturan perundang-undangan tidak saja dilakukan dalam rangka pembuatan rancangan peraturan, tetapi juga perlu dilakukan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah peraturan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, rasa keadilan, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain. 
II. Keperluan Penelitian Sebuah penelitian perlu dilakukan karena :
  1. Hasil penelitian yang baik akan menjamin proses pengambilan keputusan darimana Rancangan Peraturan Daerah tersebut berawal
  2. Garis besar yang disarankan dalam penelitian dapat dijadikan sebagai peta untuk menuntun pembuat rancangan dalam mengumpulkan dan menyusun bukti-bukti yang ada.
  3. Garis besar yang sama memastikan bahwa para pembuat rancangan menyusun fakta-fakta tersebut secara logis.
  4. Laporan hasil penelitian merupakan perangkat kenadali mutu dari RUU
Sedangkan fungsi penelitian akan bermanfaat untuk:
  1. Memaparkan fakta-fakta apa adanya
  2. Memperlihatkan penjelasan atau bukti yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa tujuan-tujuan yang dicapai akan berhasil.
III.  Metodologi Penelitian 
Belum ada standar baku dalam membuat metodologi penelitian untuk penyusunan rancangan peraturan perundangan.  Berbagai alternatif metodologi terbuka kemungkinan digunakan asalkan hasilnya dapat membantu mencapai tujuan penelitian itu sendiri, yakni menjawab persoalan dalam rangka penyusunan rancangan peraturan daerah. Salah satu metodologi penilitian yang dapat digunakan untuk keperluan penyusunan peraturan daerah adalah metodologi pemecahan masalah. Suatu laporan hasil penelitian dari seorang pembuat rancangan perlu menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk menunjukkan bahwa rancangan undang-undang yang diusulkan bertumpu kepada dasar pemikiran yang berdasarkan pengalaman.  Ada empat langkah pemecahan masalah:
  1. Mengenali kesulitannya Umumnya sebuah produk peraturan perundangan seperti peraturan daerah dibuat karena ada kesulitan-kesulitan yang ingin dipecahkan.  Pembuat rancangan peraturan daerah dalam hal ini perlu mengenali lebih jauh letak kesulitan-kesulitan tersebut secara cermat.    Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal ini adalah kesulitan-kesulitan apakah yang terjadi? Apakah fakta-fakta dilapangan menunjukkan bahwa kesulitan-keulitan itu benar-benar terjadi?  Pada langkah awal pembuat rancangan peraturan daerah ini perlu membuat deskripsi dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan disertai fakta-fakta yang ditemukan dilapangan.
  2. Mengusulkan dan menjamin penjelasannya Setelah deskripsi kesulitan di dipaparkan dengan disertai fakta-fakta dilapangan, maka langkah selanjutnya adalah meneliti lebih lanjut mengapa kesulitan-kesulitan dapat terjadi.  Penyebab-penyebab apa sajakah yang melatarbelakangi kesulitan tersebut.  Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat membantu mencari akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang ditemukan dilapangan secara cermat.
  3. Pengusulan Solusi Setelah penyebab dari kesulitas dapat diketahui dengan jelas, maka langkah selanjutnya adalah memberikan solusi.  Upaya memberikan solusi ini diharapkan mampu menjawab akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang sejak semula diajukan.  Solusi ini dibuat sudah dengan sendirinya sudah memperhatikan dampak-dampak yang terjadi dimasyarakat bila solusi diterapkan dilapangan.  Dari pemberian solusi inilah selanjutnya dirinci menjadi rancangan peraturan daerah.
  4. Memantau dan Menilai pelaksanaan Pada akhirnya laporan hasil penelitian harus membuktikan bahwa rancangan undang-undang menyertakan mekanisme pemantauan dan penilaian yang cukup.  Para pembuat undang-undang memerlukan masukan untuk menentukan apakah perilaku sosial berperilaku sebagaimana yang ditentukan dan akan menghasilkan akibat sebagaimana yang diharapkan.
IV. Langkah-Langkah Penelitian
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam proses Penelitian Raperda 
1. Membentuk Tim Peneliti  
Dengan keterbatasan-keterbatasan anggota DPRD untuk membantu melakukan kerja-kerja penelitian dalam penyusunan peraturan daerah, DPRD perlu membentuk tim peneliti. Tim ini idealnya mereka yang mengetahui tentang persoalan penelitian dan juga menyangkut persoalan-persoalan hukum/peraturan. Dalam hal ini mereka yang duduk dalam tim bisa dari kalangan anggota legeslatif sendiri yang dianggap mampu untuk itu atau pihak luar yang ditunjuk karena kemampuannya (pakar/akademisi) atau gabungan antara kalangan legeslatif dan pihak luar. 
2. Melengkapi penelitian awal Kerja tim peneliti adalah melakukan pengkajian dan penelitian terhadap permasalahan atau topik yang akan menjadi Perda. Pada proses kegiatan penelitian awal ini, paling tidak menyangkut:
  1. Studi literatur/pustaka
  2. Penelitian yang lengkap tentang undang-undang yang ada
  3. Menyerap dan mengkaji masukan dari berbagai pihak seperti pengacara, kaum akademisi, anggota parlemen, LSM, Pers dan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan masalah yang akan menjadi Perda.
  4. Penelitian tentang perda terkait yang ada di daerah lain.
3. Menyusun Naskah Akademik (Kertas Kerja I) 
Setelah melakukan penelitian awal, tim peneliti perlu merumuskan hasil penelitiannya ke dalam bentuk naskah akademik. Tujuan menyusun naskah akademis ini adalah sebagai acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan rancangan peraturan daerah. Muatan naskah akademis ini paling tidak bisa menjawab persoalan sebagaimana yang dijelaskan dalam metodologi penyelesaian masalah, yakni memperjelas peta masalah, mencari sebab-sebab dari timbulnya masalah yang dihadapi dan solusi-solusi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Naskah akademik ini selanjutnya menjadi Kertas Kerja I tim peneliti untuk dikonsultasikan ke pihak yang lebih luas. 
4. Melaksanakan pembahasan dengan elemen terbatas  
Untuk menyempurnakan hasil penelitian awal, naskah akademik yang telah disusun dikonsultasikan kepada sejumlah elemen terbatas (di luar tim peneliti). Pihak-pihak tersebut bisa dari kalangan akademisi, LSM, praktisi hukum, tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan masalah.  
5. Penyempurnaan Naskah Akademik (Kertas Kerja II)
Setelah kertas kerja I dikonsultasikan elemen terbatas (di luar tim), maka hasil yang didapat adalah masukan-masukan. Berbagai masukan tersebut selanjutnya diolah sedemikian rupa sehingga akan menyempurnakan naskah akademik yang telah dibuat. Hasil penyempurnaan ini merupakan kertas kerja II tim peneliti untuk dikonsultasikan kepada pihak yang luas (publik). Kertas kerja II idealnya harus lebih sempurna dan lebih kuat posisinya dibandingkan dengan kertas kerja I. 
6. Melaksanakan pembahasan dengan publik Penyempurnaan akhir kertas kerja tim peneliti adalah melakukan konsultasi dengan publik melalui kegiatan seminar/diskusi umum  
7. Menyusun draft Raperda Setelah hasil penelitian mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan maka langkah selanjutnya adalah merumuskannya ke dalam Draft Raperda. Draf ini kemudian diserahkan oleh tim peneliti kepada pemberi mandat.


Undang-Undang
  • UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • UU No.34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
  • UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara
  • UU No.22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
  • UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
  • UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  • UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
  • UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Menggantikan UU N0.22/1999
Peraturan Pemerintah
  • PP No.16/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
  • PP No.84/2000 tentang Pedoman Organisai Perangkat Daerah
  • PP No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
  • PP No.105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
  • PP No.106/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
  • PP No.107/2000 tentang Pinjaman Daerah
  • PP No.108/2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah
  • PP No.109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
  • PP No.110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD
  • PP No.129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
  • PP No.2/2001 tentang Pengamanan dan Pengalihan Barang Milik/Kekayaan Negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah
  • PP No.11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah
  • PP No.20/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • PP No.39/2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi
  • PP No.52/2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan
  • PP No.56/2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • PP No.65/2001 tentang Pajak Daerah
  • PP No.66/2001 tentangRetribusi Daerah
  • PP No.76/2001 tentang Pedoman Umum Mengenai Desa
  • PP No.84/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
  • PP No.3/2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  • PP No.65 /2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
  • PP No.72/2005 tentang Desa
  • PP No.7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
  • PP No.78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah
Keputusan Presiden
  • Keppres No.49/2000 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
  • Keppres No.52/2000 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • Keppres No.157/2000 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Implementasi UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  • Keppres No.159/2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah
  • Keppres No. 181/2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2001
  • Keppres No.5/2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota
  • Keppres No.74/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
  • Keppres No.131/2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2002
Keputusan Menteri Dalam Negeri
  • Kepmendagri No.188.2-198 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Percepatan Implementasi tentang UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999
  • Kepmendagri No.16 tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah dan Penetapan Wakil Asosiasi Perintah Daerah sebagai Anggota DPOD
  • Kepmendagri No.50 tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah
  • Kepmendagri No.11 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dan Manual Adiministrasi Barang Daerah







Tidak ada komentar:

Posting Komentar