Pengertian "otonom"
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa adalah "berdiri
sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan
"daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Secara
istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah
masyarakat itu sendiri." Dan pengertian lebih luas lagi adalah
wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk
kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik,
dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan
ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Otonomi
daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6
dijelaskan selanjutnya yang disebut
daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat
dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup
bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi
urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip
demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Dalam otonomi daerah ada
prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan yang dijelaskan dalam UU
No.32 tahun 2004 sebagai berikut:
- Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerinta kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
- Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk
veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh
tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam
pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga
sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di
masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang
ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli
Daerah (PAD) tidak mencukupi. Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun
1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional
Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan
aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan.
Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di
daerah. Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20
persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek
yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke
dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus.
Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran
20 sampai 30 persen dari APBN. Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi
proyek di daerah, membuat pejabat di pemerintahan nasional tidak ada waktu
untuk belajar tentang situasi global, tentang international relation,
international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk
menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang
seharusnya bisa diurus pemerintah daerah.
Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi
masalah ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah
karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta
untuk diurus. Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya
kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut,
adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar.
Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah
jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru.
Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma,
hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi
ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman pemerintah daerah. Karena itu, ketika RI
diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan persetujuan dan dukungannya.
Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan mendukung.
Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya,
daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali
yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan
kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Maka, tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan
otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan. Lahirnya reformasi tahun 1997
akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa
perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat
daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di
Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para
anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5
Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan
pemerintahan dan perkembangan keadaan. Kedua Undang-Undang tersebut merupakan
skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini
diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan
daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan
masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan aspirasinya dengan
memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan ketika masa
orde baru. Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai
lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15
Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan
di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan
pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah
diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain,
pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini
agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis
serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.
Otonomi daerah diselenggarakan untuk
menterjemahkan gagasan desentralisasi sebagai kritik atas kuatnya sentralisasi
yang diselenggarakan pada masa pemerintahan rezim Soeharto. Desentralisasi
dipilih sebab ia memiliki kelebihan dibanding sentralisasi negara yang
melahirkan problem bernegara. Melalui reformasi, otonomi daerah menjadi
kebijakan yang dibuat untuk bisa membangun tata kelola baru yang lebih baik
dibanding masa sebelumnya. Otonomi daerah memiliki prinsip-prinsip yang harus
ada untuk bisa mencapai tujuan. Prinsip itu adalah:
- Adanya pemberian kewenangan dan hak kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri
- Dalam menjalankan wewenang dan hak mengurus rumah tangganya, daerah tidak dapat menjalankan di luar batas-batas wilayahnya
- Penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, pelayanan yang prima, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
- Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemampuan daerah dan dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah
dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama yakni politik, ekonomi
serta sosial dan budaya.
- Bidang politik. Otonomi daerah adalah sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
- Bidang ekonomi. Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi untuk masyarakat daerah
- Bidang sosial budaya Otonomi daerah digunakan untuk menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika kehidupan masyarakat.
Implementasi Otonomi daerah bukan
tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di
lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan
ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya
disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
- Kewenangan yang tumpang tindih Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
- Anggaran Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
- Pelayanan Publik Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
- Politik Identitas Diri Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis
- Orientasi Kekuasaan Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
- Lembaga Perwakilan Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
- Pemekaran Wilayah Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan.
- Pilkada Langsung Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.
Penyelenggaraan otonomi daerah
diharapkan bisa memacu prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah untuk bisa
menjalankan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu
diperlukan keseriusan agar kebijakan ini bisa berhasil dijalankan. Pokok-pokok
penyelenggaraan otonomi daerah meliputi:
- Penyerahan kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan.
- Dalam otonomi pemerintahan daerah terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh dan propinsi yang diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintahan pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah propinsi.
- Gubernur propinsi, selain berstatus kepala daerah otonom, juga sebagai wakil pemerintah pusat. Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan hierarki antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota), maka hubungan provinsi dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur mengkoordinasikan tugas-tugas pemerintahan antar kabupaten dan kota di wilayahnya. Gubernur juga melakukan supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintah berdasarkan otnomi daerah di dalam wilayahnya.
- Adanya penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah. Otonomi daerah memberi kewenangan untuk mempertegas DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. Selain itu untuk memfungsikan peran pemberdayaan dan penyalur aspirasi masyarakat yang sebenarnya.
- Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanaan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif dengan kebutuhan daerah.
- Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
- Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat ”block grant”, pengatura pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
- Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap uapaya memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial suatu bangsa.
Dalam otonomi daerah, ada pembagian
wewenang antara pemerintah pusat dan daerah yang diatur menurut UU No.32 tahun
2004. Pembagian wewenang itu meliputi: 1. Kewewenangan pemerintah pusat
(Pasal 10 ayat 3) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c.
Keamanan; d. Yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama; 2.
Kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi (Pasal 13 ayat 1 UU. No. 32 Tahun
2004):
- Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
- Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
- Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
- Penyediaan sarana dan prasarana umum;
- Penanganan bidang kesehatan;
- Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
- Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
- Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
- Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
- Pengendalian lingkungan hidup;
- Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
- Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
- Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
- Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
- Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan
- urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
3. Kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 1, UU No. 32 Tahun 2004) a. Perencanaan dan pengendalian
pembangunan; b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c.
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan
sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan
pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang
ketenagakerjaan; i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan;
Kebijakan otonomi daerah telah
melahirkan sejumlah perubahan-perubahan yang cukup penting, terutama di daerah.
Di bidang politik, otonomi daerah berdampak positif bagi perkembangan demokrasi
lokal. Indikatornya antara lain misalnya, berfungsinya DPRD sebagai lembaga
legeslatif daerah. Pada era diberlakukannya UU No.5/1974, DPRD hanyalah
kelengkapan eksekutif daerah. Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar
sebagai lembaga legeslatif dan mitra sejajar eksekutif daerah. Indikator lain
masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah.
Hal tersebut bisa terjadi karena pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan
rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap kebijakan baru yang dibuat pemerintah
daerah. Di sisi lain kebijakan otonomi daerah juga memendam banyak persoalan.
Di antara persoalan tersebut adalah lemahnya SDM daerah yang sangat berpengaruh
terhadap produk kebijakan daerah. Hal ini terlihat misalnya dari banyaknya
produk Perda yang bermasalah.Disinyalir misalnya, dalam rentang waktu setahun
setelah otonomi daerah saja, dari 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen
Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya bermasalah. Pada konteks inilah, dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, penyusunan Perda, perlu
mengikutsertakan masyarakat dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan
masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut akan mempermudah sosialisasi dan
penerapan substansi apabila Perda ditetapkan dan diundangkan I. Mengapa
Partisipasi diperlukan Kebijakan Otonomi Daerah telah melahirkan angin
segar untuk pelibatan masyarakat, karena kebijakan ini diambil dengan tujuan
meningkatkan pelibatan masyarakat. Pemerintahan lokal secara fisik memang lebih
dekat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah mengetahui kebijakan
yang diambil pemerintah. Dan kebijakan yang diambil umumnya langsung berkaitan
dengan keseharian masyarakat. Dampaknya jika ada kebijakan yang kurang sesuai
masyarakat dapat segera mengkritisi kebijakan tersebut dan penyelenggara
pemerintahan yang hidup ‘bersama’ masyarakatnya mau-tidak mau harus
merespon aspirasi masyarakatnya. Penyelengaraan pemerintahan lokal yang
lebih dinamis ini telah menimbulkan suatu kebutuhan bersama untuk
mengatur pelibatan masyarakat. II. Hak Masyarakat, Kewajiban
Pemerintah dan Mekanisme Partisipasi Hak Masyarakat Sebagaimana tertuang
dalam PP nomer 68 tahun 1999 berkenaan dengan peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan negara, maka masyarakat mendapatkan hak-haknya sebagai
berikut;
- Hak mencari dan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan negara
- Hak menyampaikan saran dan pendapat
- Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara
- Hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan hak-haknya diatas
Kewajiban Pemerintah Sebagai konsekwensi adanya
pengakuan terhadap hak masyarakat maka penyelenggara pemerintahan
mempunyai kewajiban untuk mendengar pendapat masyarakat (yang
berkepentingan) dalam proses perumusan dan penetapan kebijakan yang
menyangkut kepentingan masyarakat. Dengan demikian penyelenggara
pemerintahan sebagai penerima mandat masyarakat berkepentingan untuk
menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat. Dan terjaminnya hak-hak
masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan penyelenggaraan
pamerintahan. Mekanisme Partisipasi Mekanisme yang memungkinkan
pelibatan aktif masyarakat minimal harus menjamin terlaksananya hak
masyarakat sehingga dalam mekanisme pelibatan masyarakat ini
minimal harus mengatur: 1. Penyampaian informasi tentang kebijakan yang akan
diambil termasuk jadwal dan prosedur pelibatan masyarakat 2. Tanggapan
terhadap aspirasi masyarakat 3. Hasil akomodasi masyarakat dan 4. Keberatan III.
Tingkatan Dan Bentuk Partisipasi Masyarakat
Derajat
|
Partisipasi
Masyarakat
|
Contoh
|
Tinggi
|
Memiliki
Kontrol
|
Lembaga
Pemerintah, legislatif, LSM, mendorong masyarakat, untuk mengindentifikasikan
masalah, tujuan, maksud dan kesimpulan-kesimpulan kunci. Lembaga
memiliki kemauan membantu masyarakat dalam setiap langkah-langkahdalam menyelesaikan
tujuan-tujuan tersebut.
|
Memiliki
Kekuasaan yang terlegasi
|
Lembaga
– pemerintah, legislatif, LSM – mengidentifikasikan masalah dan
menyampaikannya kepada masyarakat, mendefinisikan keterbatatasan serta
membuat keputusan-keputusan yang dapat digabungkan dalam suatu rencana yang
diterima
|
|
Keterlibatan
dalam perencanaan
|
Lembaga
- pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan perencanaan tentative dan
terbuka untuk menerima perubahan dari subjek yang dipengaruhi. Mengharapkan
perubahan rencana paling sedikit dan mungkin lebih dari itu.
|
|
Saran
|
Lembaga
- pemerintah, legislatif, LSM – menyampaikan rencana dan mengundang tanggapan
masyarakat. Rencana hanya dipersiapkan untuk dimodifikasi, jika memang
diperlukan
|
|
Dikonsultasi
|
Lembaga
- pemerintah, legislatif, LSM – mencoba menawarkan rencana. Mencari dukungan
agar, memperoleh penerimaan atau memberi sanksi, sehingga pengadaan
administrasi tercapai seperti yang diharapkan.
|
|
Menerima
informasi sosialisasi
|
Lembaga
– pemerintah, legislatif, LSM – membuat perencanaan dan mengumumkannya.
Masyarakat dikerahkan untuk tujuan mendengarkan informasi. Masyarakat
berkumpul menjadi suatu yang diharapkan.
|
|
Rendah
|
Tidak
ada sama sekali
|
Masyarakat
tidak mengetahui sama sekali.
|
Sumber: Community participation for
health for all. London, Community participation group of the United Kingdom for
all network, 1991 dalam Suhardi Suryadi dan Julmansyah 2001 IV. Alur Partisipasi Dalam
Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam penyusunan peraturan daerah, partisipasi
dikatakan optimal bila masyarakat terlibat secara aktif dari awal
proses penyusunan hingga peraturan daerah itu disahkan menjadi produk
hukum. Hal ini dapat dilakukan bila masyarakat dan lembaga legislatif
saling berjalan sinergis untuk mewujudkan produk hukum yang terbaik untuk
daerah. Dalam fungsinya sebagai Lembaga legilslasi, DPRD perlu menyerap
aspirasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat (selain menyerap masukan dari
inisiatif anggota DPRD atau masukan dari Pemda) untuk bahan penyusunan
kebijakan daerah. Semua aspirasi yang masuk dicatat dan
didokumentasikan dengan baik. Selanjutnya DPRD melakukan proses seleksi
dengan memperhitungkan berbagai aspek seperti sumberdaya, sumber dana, tingkat
keperluan dan berbagai keterbatasan-keterbatasan lainya. Tujuan
dari proses seleksi ini adalah untuk menyusun prioritas usulan-usulan yang akan
dibahas lebih lanjut di DPRD. Untuk mendapatkan partisipasi yang optimal,
sebelum dibahas lebih lanjut di DPRD, usulan yang sudah diprioritaskan tersebut
perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas. Paling
tidak masyarakat mengetahui dari sekian aspirasi yang masuk di DPRD ada
priotitas yang akan dibahas lebih lanjut. Langkah ini dilakukan selain
untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, juga merupakan bentuk
Transparansi lembaga Legislasi kepada publik. Dari sini masyarakat akan
mengetahui aspirasi mana yang menjadi prioritas DPRD dan mengapa aspirasi
tersebut yang dipilih. Setelah disosialisasikan, DPRD perlu menyerap aspirasi
dari masyarakat. Aspirasi dari masyarakat cukup penting
karena akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan. Upaya untuk
menyerap aspirasi tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yakni cara pasif
dan aktif. Cara pasif DPRD menunggu reaksi masyarakat setelah
usulan-usulan prioritas disosialisasikan. Sedangkan cara aktif,
DPRD mengundang atau mengajak bekerjasama dengan elemen masyarakat yang
berkepentingan untuk melakukan pembahasan. Setelah mendapatkan masukan dari
masyarakat, usulan prioritas di bahas di DPRD melalui Rapat Paripurna (I dan
II). Dari rapat ini, usulan-usulan prioritas tersebut akan
ditetapkan untuk dibahas lebih mendalam dalam rapat-rapat komisi. Jumlah
usulan yang ditetapkan tergantung dari hasil pembahsan dalam rapat paripurna. Selama
sidang komisi, DPRD kembali membuka ruang publik untuk mendapatakan
masukan-masukan dari masyarakat. Bila perlu Draft Raperda yang telah
dibahas di sidang komisi disosialisasikan dan dibahas bersama masyarakat untuk
mendapatkan masukan-masukan. Cara yang ditempuh sebagaimana telah
disebutkan diatas, yakni melalui dua cara. Cara pasif menunggu reaksi
masyarakat setelah draft disebarluaskan. Sedangkan Cara aktif mengajak
berbagai elemen yang berkepentingan dimasyarakat untuk melakukan pembahasan bersama.
Selanjutnya setelah melakukan pembahasan disidang komisi, masyarakat perlu
mengetahui proses pengesahan Raperda dalam sidang paripurna DPRD.
Keterlibatan masyarakat terlibat dalam proses pengesahan merupakan ujung dari
proses partisipasi masyrakat dalam penyusunan Peraturan Daerah. Alur proses
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah bisa dilihat dalam
gambar berikut: {mosimage}
I. Pendahuluan Meningkatnya kebutuhan akan
berbagai peraturan perundang-undangan tidak dapat dihindari, tidak saja untuk
menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dengan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam masyarakat saat ini (termasuk akibat diberikannya otonomi
kepada daerah), tetapi merupakan perangkat yang dibutuhkan dalam era
globalisasi. Peningkatan kuantitas peraturan perundang-undangan tersebut
seyogyanya diimbangi dengan peningkatan kualitas. Peraturan perundang-undangan
hendaknya disusun secara hati-hati dan seksama dengan mengikuti syarat-syarat
teknis dan juridis tanpa mengabaikan kaidah-kaidah filosofis dan sosiologis.
Suatu kajian hukum/perundang-undangan perlu dilakukan dengan
penelitian-penelitian kepustakaan dan empiris, guna memperoleh suatu peraturan
dengan kualitas yang baik dan dapat berlaku efektif dalam masyarakat.
Penelitian terhadap peraturan perundang-undangan tidak saja dilakukan dalam
rangka pembuatan rancangan peraturan, tetapi juga perlu dilakukan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah peraturan tersebut sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, rasa
keadilan, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain.
II. Keperluan Penelitian Sebuah
penelitian perlu dilakukan karena :
- Hasil penelitian yang baik akan menjamin proses pengambilan keputusan darimana Rancangan Peraturan Daerah tersebut berawal
- Garis besar yang disarankan dalam penelitian dapat dijadikan sebagai peta untuk menuntun pembuat rancangan dalam mengumpulkan dan menyusun bukti-bukti yang ada.
- Garis besar yang sama memastikan bahwa para pembuat rancangan menyusun fakta-fakta tersebut secara logis.
- Laporan hasil penelitian merupakan perangkat kenadali mutu dari RUU
Sedangkan fungsi penelitian akan
bermanfaat untuk:
- Memaparkan fakta-fakta apa adanya
- Memperlihatkan penjelasan atau bukti yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa tujuan-tujuan yang dicapai akan berhasil.
III. Metodologi Penelitian
Belum ada standar baku dalam membuat
metodologi penelitian untuk penyusunan rancangan peraturan perundangan.
Berbagai alternatif metodologi terbuka kemungkinan digunakan asalkan hasilnya dapat
membantu mencapai tujuan penelitian itu sendiri, yakni menjawab persoalan dalam
rangka penyusunan rancangan peraturan daerah. Salah satu metodologi penilitian
yang dapat digunakan untuk keperluan penyusunan peraturan daerah adalah
metodologi pemecahan masalah. Suatu laporan hasil penelitian dari seorang
pembuat rancangan perlu menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk
menunjukkan bahwa rancangan undang-undang yang diusulkan bertumpu kepada dasar
pemikiran yang berdasarkan pengalaman. Ada empat langkah pemecahan
masalah:
- Mengenali kesulitannya Umumnya sebuah produk peraturan perundangan seperti peraturan daerah dibuat karena ada kesulitan-kesulitan yang ingin dipecahkan. Pembuat rancangan peraturan daerah dalam hal ini perlu mengenali lebih jauh letak kesulitan-kesulitan tersebut secara cermat. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal ini adalah kesulitan-kesulitan apakah yang terjadi? Apakah fakta-fakta dilapangan menunjukkan bahwa kesulitan-keulitan itu benar-benar terjadi? Pada langkah awal pembuat rancangan peraturan daerah ini perlu membuat deskripsi dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi dengan disertai fakta-fakta yang ditemukan dilapangan.
- Mengusulkan dan menjamin penjelasannya Setelah deskripsi kesulitan di dipaparkan dengan disertai fakta-fakta dilapangan, maka langkah selanjutnya adalah meneliti lebih lanjut mengapa kesulitan-kesulitan dapat terjadi. Penyebab-penyebab apa sajakah yang melatarbelakangi kesulitan tersebut. Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat membantu mencari akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang ditemukan dilapangan secara cermat.
- Pengusulan Solusi Setelah penyebab dari kesulitas dapat diketahui dengan jelas, maka langkah selanjutnya adalah memberikan solusi. Upaya memberikan solusi ini diharapkan mampu menjawab akar masalah dari kesulitan-kesulitan yang sejak semula diajukan. Solusi ini dibuat sudah dengan sendirinya sudah memperhatikan dampak-dampak yang terjadi dimasyarakat bila solusi diterapkan dilapangan. Dari pemberian solusi inilah selanjutnya dirinci menjadi rancangan peraturan daerah.
- Memantau dan Menilai pelaksanaan Pada akhirnya laporan hasil penelitian harus membuktikan bahwa rancangan undang-undang menyertakan mekanisme pemantauan dan penilaian yang cukup. Para pembuat undang-undang memerlukan masukan untuk menentukan apakah perilaku sosial berperilaku sebagaimana yang ditentukan dan akan menghasilkan akibat sebagaimana yang diharapkan.
IV. Langkah-Langkah Penelitian
Langkah-langkah yang dapat dilakukan
dalam proses Penelitian Raperda
1. Membentuk Tim Peneliti
Dengan
keterbatasan-keterbatasan anggota DPRD untuk membantu melakukan kerja-kerja
penelitian dalam penyusunan peraturan daerah, DPRD perlu membentuk tim
peneliti. Tim ini idealnya mereka yang mengetahui tentang persoalan penelitian
dan juga menyangkut persoalan-persoalan hukum/peraturan. Dalam hal ini mereka
yang duduk dalam tim bisa dari kalangan anggota legeslatif sendiri yang
dianggap mampu untuk itu atau pihak luar yang ditunjuk karena kemampuannya
(pakar/akademisi) atau gabungan antara kalangan legeslatif dan pihak luar.
2.
Melengkapi penelitian awal Kerja tim peneliti adalah melakukan pengkajian
dan penelitian terhadap permasalahan atau topik yang akan menjadi Perda. Pada
proses kegiatan penelitian awal ini, paling tidak menyangkut:
- Studi literatur/pustaka
- Penelitian yang lengkap tentang undang-undang yang ada
- Menyerap dan mengkaji masukan dari berbagai pihak seperti pengacara, kaum akademisi, anggota parlemen, LSM, Pers dan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan langsung dengan masalah yang akan menjadi Perda.
- Penelitian tentang perda terkait yang ada di daerah lain.
3. Menyusun Naskah Akademik
(Kertas Kerja I)
Setelah melakukan penelitian awal, tim peneliti perlu
merumuskan hasil penelitiannya ke dalam bentuk naskah akademik. Tujuan menyusun
naskah akademis ini adalah sebagai acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran
yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan rancangan peraturan daerah.
Muatan naskah akademis ini paling tidak bisa menjawab persoalan sebagaimana
yang dijelaskan dalam metodologi penyelesaian masalah, yakni memperjelas peta
masalah, mencari sebab-sebab dari timbulnya masalah yang dihadapi dan
solusi-solusi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Naskah akademik ini
selanjutnya menjadi Kertas Kerja I tim peneliti untuk dikonsultasikan ke pihak
yang lebih luas.
4. Melaksanakan pembahasan dengan elemen terbatas
Untuk
menyempurnakan hasil penelitian awal, naskah akademik yang telah disusun
dikonsultasikan kepada sejumlah elemen terbatas (di luar tim peneliti).
Pihak-pihak tersebut bisa dari kalangan akademisi, LSM, praktisi hukum, tokoh
masyarakat atau pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan masalah.
5.
Penyempurnaan Naskah Akademik (Kertas Kerja II)
Setelah kertas kerja I
dikonsultasikan elemen terbatas (di luar tim), maka hasil yang didapat adalah
masukan-masukan. Berbagai masukan tersebut selanjutnya diolah sedemikian rupa
sehingga akan menyempurnakan naskah akademik yang telah dibuat. Hasil
penyempurnaan ini merupakan kertas kerja II tim peneliti untuk dikonsultasikan
kepada pihak yang luas (publik). Kertas kerja II idealnya harus lebih sempurna
dan lebih kuat posisinya dibandingkan dengan kertas kerja I.
6. Melaksanakan
pembahasan dengan publik Penyempurnaan akhir kertas kerja tim peneliti
adalah melakukan konsultasi dengan publik melalui kegiatan seminar/diskusi umum
7. Menyusun draft Raperda Setelah hasil penelitian mendapatkan
penyempurnaan-penyempurnaan maka langkah selanjutnya adalah merumuskannya ke
dalam Draft Raperda. Draf ini kemudian diserahkan oleh tim peneliti kepada
pemberi mandat.
Undang-Undang
- UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
- UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
- UU No.34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
- UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara
- UU No.22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
- UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
- UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
- UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Menggantikan UU N0.22/1999
Peraturan Pemerintah
- PP No.16/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
- PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
- PP No.84/2000 tentang Pedoman Organisai Perangkat Daerah
- PP No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
- PP No.105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
- PP No.106/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
- PP No.107/2000 tentang Pinjaman Daerah
- PP No.108/2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah
- PP No.109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
- PP No.110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD
- PP No.129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
- PP No.2/2001 tentang Pengamanan dan Pengalihan Barang Milik/Kekayaan Negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah
- PP No.11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah
- PP No.20/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
- PP No.39/2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi
- PP No.52/2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan
- PP No.56/2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
- PP No.65/2001 tentang Pajak Daerah
- PP No.66/2001 tentangRetribusi Daerah
- PP No.76/2001 tentang Pedoman Umum Mengenai Desa
- PP No.84/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
- PP No.3/2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- PP No.65 /2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
- PP No.72/2005 tentang Desa
- PP No.7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
- PP No.78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah
Keputusan Presiden
- Keppres No.49/2000 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
- Keppres No.52/2000 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
- Keppres No.157/2000 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Implementasi UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
- Keppres No.159/2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah
- Keppres No. 181/2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2001
- Keppres No.5/2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota
- Keppres No.74/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
- Keppres No.131/2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2002
Keputusan Menteri Dalam Negeri
- Kepmendagri No.188.2-198 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Percepatan Implementasi tentang UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999
- Kepmendagri No.16 tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah dan Penetapan Wakil Asosiasi Perintah Daerah sebagai Anggota DPOD
- Kepmendagri No.50 tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah
- Kepmendagri No.11 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dan Manual Adiministrasi Barang Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar